Filsafah Jawa Tembang Macapat

Administrator 13 Februari 2020 07:57:41 WIB

WIS TEKAN NGENDI URIPE AWAKE DHEWE?
Ada 11 fase kehidupan manusia dalam falsafah Jawa sbb :

1. Maskumambang

Simbol fase ruh/kandungan di mana kita masih "mengapung" atau "kumambang" di alam ruh dan kemudian di dalam kandungan yang gelap.

2. Mijil

Mijil artinya keluar. Ini adalah fase bayi, dimana kita mulai mengenal kehidupan dunia. Kita belajar bertahan di alam baru.

3. Sinom

Sinom adalah masa muda, masa dimana kita tumbuh berkembang mengenal hal2 baru.

4. Kinanthi

Ini adalah masa pencarian jati diri, pencarian cita2 dan makna diri.

5. Asmaradhana

Fase paling dinamik dan ber-api2 dalam pencarian cinta dan teman hidup.

6. Gambuh

Fase dimulainya kehidupan keluarga dengan ikatan pernikahan suci (gambuh). Menyatukan visi dan cinta kasih

7. Dhandang Gula

Ini adalah fase puncak kesuksesan secara fisik dan materi (dhandang = bejana). Namun selain kenikmatan gula (manisnya) hidup, semestinya diimbangi pula dengan kenikmatan rohani dan spiritual.

8. Durma

Fase dimana kehidupan harus lebih banyak didermakan untuk orang lain, bukan mencari kenikmatan hidup lagi (gula). Ini adalah fase bertindak sosial. *Dan berkumpul dengan teman2 seperjuangan, bersosialisasi.

9. Pangkur

Ini adalah fase uzlah (pangkur-menghindar), fase menyepi, fase kontemplasi, mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Menjauhkan diri dari gemerlapnya hidup.

10. Megatruh

Ini fase penutup kehidupan dunia, dimana Ruh (Roh) meninggalkan badan (megat: memisahkan). Fase awal dari perjalanan menuju keabadian.

11. Pucung

Fase kembali kepada Allah, Sang Murbeng Dumadi, Sangkan Paraning Dumadi. Diawali menjadi pocung (jenazah), ditanya seperti lagu pocung yang berisi pertanyaan. Fase menuju kebahagiaan sejati, bertemu dengan yang Mahasuci.

Watak Tembang

Setiap jenis tersebut memiliki watak-watak yang berbeda. Tembang maskumambang menceritakan manusia dari awal mula manusia diciptakan. Masih dalam kandungan. Maskumambang dimaknai sebagai “emas terapung”. Memiliki karakter kesedihan, suasana hati sedang nelangsa.

Tembang Mijil melambangkan bentuk sebuah biji atau benih yang telah terlahir di dunia berasal ari kata wijil yang bermakna keluar. Awal mula perajalanan manusia yang masih memerlukan perlindungan. Menggambarkan keterbukaan menyajikan nasehat dan tentang asmara.

Tembang Sinom berarti pucuk yang baru tumbuh atau bersemi. Dari kata enom atau masih muda. Manusia telah beranjak dewasa. Tentang kesabaran dan keramahtamahan.

Tembang Kinanti berasal dari kanti menggandeng atau menuntun. Kehidupan seorang anak yang masih perlu dituntun.

Tembang Asamarandana tentang perjalanan hidup manusia sudah waktunya memadu cinta kasih bersama pasangan hidup. Namun gambaran dari temabng ini adalah cinta kasih, asmara, dan juga rasa pilu dan sedih karena rasa cinta.

Tembang Gambuh menceritakan menemukan pasangan hidup yang cocok, keramah tamahan dan persahabatan. Sikap bijaksana, nasihat hidup, persaudaraan, toleransi, dan kebersamaan.

Tembang Dhandhanggula berasal dari kata dhang-dhang atau berharap. Berharap sesuatu yang manis atau indah. Mengenai kehidupan pasangan baru.memiliki gatra yang paling banyak.

Tembang Durma menggambarkan peristiwa duka, selisih dan juga kekurangan akan sesuatu berkarakter tegas, keras, dan amarah yang menggebu-gebu. Kondisi seseorang yang tidak memiliki etika disebut dengan munduring tata krama sehingga mereka sering marah dan semena-mena.

Tembang Pangkur berasal dari kata mungkur menggambarkan kehidupan yang harusnya dapat menghindari hawa nafsu dan angkara murka. Berkarakter gagah, kuat, perkasa, dan hati besar.

Tembang Megatruh berasal dari kata megat dan roh berarti terlepasnya roh perjalanan hidup manusia telah usai. Tentang kesedihan dan kedukaan.

Tembang Pucung menunjukkan kondisi manusia ketika sudah meninggal. Ada pula yang mengatakan bahwa pucung berasal dari kudhuping gegodhongan atau kuncup dedaunan yang masih segar. Menceritakan hal-hal lucu dan tebak-tebakan.

Dalam tembang macapat terdapat beberapa unsur di dalamnya. Dikenal dengan nama guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan. Guru gatra merupakan banyaknya jumlah larik atau baris dalam satu bait. Guru lagu merupakan persamaan bunyi sajak pada akhir lirik setiap barus atau biasa dikenal dengan rima. Bunyi lagu a, i, u, e, o disebut dengan dong dinge swara. Sedangkan guru wilangan merupakan jumlah suku kata atau wanda.

Komentar atas Filsafah Jawa Tembang Macapat

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas
 

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License